Selasa, 21 Mei 2013

penyebaran agama budha di asia



Meskipun agama Buddha tidak pernah mengembangkan suatu gerakan pengutusan, ajaran Buddha menyebar jauh dan luas di subbenua India dan dari sana menyebar ke seluruh Asia. Di tiap budaya yang ditemuinya, cara-cara dan gaya-gaya Buddha disesuaikan dengan watak setempat, tanpa mengubah pokok-pokok penting tentang kebijaksanaan dan welas asih. Namun, agama Buddha tak pernah mengembangkan hierarki kekuasaan agama dengan seorang pimpinan penguasa. Tiap negara yang menerima ajaran Buddha mengembangkan bentuknya sendiri, struktur agamanya sendiri, dan pimpinan rohaninya sendiri. Pimpinan yang paling terkenal dan dihormati secara internasional saat ini adalah Yang Mulia Dalai Lama dari Tibet.
Ada dua pembagian utama ajaran Buddha. Hinayana, atau Wahana Sederhana, menekankan pembebasan pribadi, sementara Mahayana, Wahana Besar, menekankan usaha untuk menjadi seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan supaya bisa sebaik mungkin menolong orang lain. Masing-masing memiliki subbagian. Namun, saat ini, ada tiga bentuk utama yang masih ada: satu Hinayana, dikenal sebagai Theravada, di Asia Tenggara, dan dua Mahayana, yakni aliran Cina dan Tibet.
Aliran Theravada menyebar dari India ke Sri Lanka dan Burma di abad ke-3 SM, dan dari sana ke Yunan di Cina barat daya, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam Selatan, dan Indonesia. Sekelompok pedagang India yang menganut Buddha kemudian ditemukan di pesisir Semenanjung Arab dan bahkan hingga Alexandria, Mesir. Bentuk-bentuk lain Hinayana menyebar dari masa itu ke Pakistan masa kini, Kashmir, Afghanistan, Iran timur dan pesisir, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Tajikistan. Semua ini adalah negara Gandhara, Bactria, Parthia, dan Sogdia pada masa kuno. Berawal di Asia Tengah ini, mereka menyebar lebih jauh pada abad kedua masehi ke Kyrgyztan dan Kazakhstan. Bentuk-bentuk Hinayana ini lalu digabungkan dengan unsur-unsur Mahayana yang juga datang dari India sehingga Mahayana akhirnya menjadi bentuk Buddha yang dominan di sebagian besar Asia Tengah.
Bentuk Cina dari Mahayana kemudian menyebar ke Korea, Jepang, dan Vietnam Utara. Gelombang awal lain Mahayana, yang bercampur dengan bentuk-bentuk Shaivisme Hindu, menyebar dari India ke Nepal, Indonesia, Malaysia, dan beberapa bagian Asia Tenggara sejak abad ke-5. Aliran Mahayana Tibet, yang berawal di abad ke-7 dan mewarisi perkembangan sejarah lengkap dari Buddha India, menyebar di seluruh wilayah Himalaya hingga ke Mongolia, Turkistan Timur, Kyrgyztan, Kazakhstan, China Daratan utara, Manchuria, Siberia, dan wilayah Mongol Kalmyk dekat Laut Kaspian di wilayah Rusia Eropa.
Penyebaran ajaran Buddha di sebagian besar Asia bersifat damai dan terjadi dalam beberapa cara. Buddha Shakyamuni yang kali pertama menetapkan hal ini. Karena dasarnya guru, ia bepergian ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk berbagi wawasan dengan orang-orang yang tertarik dan bisa menerima. Demikian juga, ia mengarahkan biksu-biksunya untuk menyebar ke dunia dan mewartakan ajarannya. Ia tidak meminta orang lain untuk mencela dan melepaskan agama mereka sendiri lalu beralih ke agama baru, karena ia tidak berusaha mendirikan suatu agama. Ia semata mencoba menolong orang lain mengatasi ketidakbahagiaan dan duka yang mereka ciptakan sendiri akibat kurangnya pemahaman. Generasi pengikut selanjutnya terilhami oleh contoh Buddha dan mengikuti bersama orang lain cara-cara Buddha yang mereka anggap bermanfaat. Inilah cara sesuatu yang sekarang disebut “ ajaran Buddha” menyebar dengan jauh dan luas.
Terkadang, proses itu berjalan secara pelan dan alami. Sebagai contoh, ketika para pedagang Buddha berkunjung dan menetap di berbagai tempat, sebagian anggota masyarakat setempat secara alami tertarik pada keyakinan orang-orang asing tersebut, seperti halnya masuknya Islam ke Indonesia dan Malaysia. Proses semacam itu terjadi dengan ajaran Buddha di negara-negara oase sepanjang Jalur Sutra di Asia Tengah selama dua abad sebelum dan sesudah masehi. Sementara penguasa setempat dan masyarakatnya belajar lebih banyak tentang agama India ini, mereka mengundang biksu dari wilayah asli pedagang itu sebagai penasihat atau guru dan, dengan cara ini, akhirnya menerapkan keyakinan Buddha. Cara alami lainnya adalah melalui pembauran budaya yang pelan di dalam orang-orang yang dijajah, seperti orang Yunani ke dalam masyarakat Buddha Gandhara di Pakistan tengah masa kini selama berabad-abad setelah abad ke-2 SM.
Bagaimanapun, seringkali penyebaran itu terjadi terutama karena pengaruh dari seorang raja kuat yang menerapkan dan mendukung agama Buddha. Misalnya, di pertengahan abad ke-3 SM, ajaran Buddha menyebar di seluruh India selatan akibat dukungan pribadi dari Raja Ashoka. Pembangun kekaisaran yang hebat ini tidak memaksa masyarakatnya untuk menerapkan keyakinan Buddha. Namun, dengan mengukir perintah kerajaan di tiang-tiang besi di seluruh wilayahnya, yang mendorong warganya untuk menjalankan kehidupan yang etis, dan dengan menerapkan asas-asas itu sendiri, ia mengilhami orang lain untuk menerapkan ajaran Buddha.
Raja Ashoka juga secara aktif menyebarkan ajaran Buddha ke luar kerajaannya dengan mengirimkan utusan ke tempat-tempat jauh. Dalam beberapa kesempatan, ia bertindak atas undangan penguasa asing, seperti Raja Tishya dari Sri Lanka. Di kesempatan lain, ia mengirimkan biksu-biksu sebagai wakil resmi dirinya. Para biksu utusan ini, bagaimanapun, tidak memaksa orang lain untuk pindah agama, tapi semata menyediakan ajaran Buddha, yang membuat orang-orang bisa memilih untuk diri mereka sendiri. Ini dibuktikan oleh fakta bahwa di tempat-tempat seperti India Selatan dan Burma bagian selatan, agama Buddha mengakar dengan cepat, sementara di tempat lain, seperti wilayah jajahan Yunani di Asia Tengah, tidak ada catatan tentang adanya pengaruh yang langsung.
Raja-raja agamawi lainnya, seperti penguasa Mongol di abad ke-16, Altan Khan, mengundang guru-guru Buddha dan menyatakan Buddha sebagai agama resmi di sana untuk membantu menyatukan masyarakat mereka dan memperkuat kekuasaan mereka. Dalam proses itu, mereka mungkin melarang praktik-praktik selain Buddha, agama asli, dan bahkan menghukum mereka yang menjalankannya, tapi tindakan keras ini terutama didorong oleh alasan politik. Penguasa ambisius seperti itu tak pernah memaksa warga mereka untuk menerapkan pemujaan atau keyakinan Buddha. Ini bukanlah bagian dari asas agama.
Bila Buddha Shakyamuni berkata kepada orang-orang supaya tidak mengikuti ajarannya atas dasar keyakinan buta, tapi untuk menilainya secara hati-hati sebelum menerimanya, orang-orang pun harus menerima ajaran Buddha bukan karena paksaan utusan agama yang tekun atau perintah kerajaan. Oleh karena itu, sebagai contoh, saat Toyin Neiji di awal abad ke-16 berusaha menyuap kaum nomad Mongol Timur supaya mengikuti Buddha dengan menawari mereka ternak untuk tiap ayat yang bisa mereka hafal, orang-orang mengajukan keluhan kepada penguasa. Akhirnya, guru yang angkuh ini dihukum dan diasingkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar